Lembaga Pers Mahasiswa Setara Unswagati - Cirebon. Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Sejarah Sebutan ‘Indonesia’

Sejarah Sebutan ‘Indonesia’

Written By Lembaga Pers Mahasiswa Setara on Senin, 29 Oktober 2012 | 15.59

Anda pasti mengetahui Indonesia, tapi apakah anda mengetahui asal-usul kenapa Negara ini dinamakan Indonesia? Kenapa tidak dengan nama yang lainnya?. Setara akan mencoba menelusurinya dalam edisi peringatan Sumpah Pemuda.

Cirebon (29/10) Indonesia, Negara kita saat ini yang sedang kita diami ternyata memiliki ragam sejarah yang sarat dengan misteri. Tidak hanya misteri teks proklamasi 15 agustus 1945 di Cirebon yang hilang, naskah hasil Kongres Pemuda yang dihilangklan oleh belanda, hingga nama dari Indonesia ini yang masih banyak orang belum mengetahuinya dengan persis. 

Foto : Ilustrasi
Ketika masa kolonial, kepulauan nusantara yang dahulu adalah eks wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit  merupakan wilayah jajahan belanda, dan unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (hindia -belanda). Karena ketika itu bangsa eropa hanya mengenal dan baru menyebut 3 jenis ras dari bangsa – bangsa di benua asia, yaitu ras India, Arab dan China. Inilah mengapa kemudian belanda menyebut Nusantara sebagai Hindia Belanda.

Suatu ketika, pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, JIAEA (Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia) yang dikelola oleh James Richardson Logan, seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Dua tahun setelah itu pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl, menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Baru pada JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, George Samuel Windsor Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. 

Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia. Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis "Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia".

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). 

Earl berpendapat bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Sedangkan dalam JIAEA edisi yang sama, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Inilah awal lahirnya istilah Indonesia.

Kemudia pada tahun 1884, seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu) sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. 

Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Padahal pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan dalam majalah JIAEA yang terbit setengah abad sebelumnya pada tahun 1850.

Sebutan Indonesia di Tanah Air
Pada pertengahan abad 19 Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat atau yang kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Ketika Ki Hajar Dewantara dibuang ke Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau (ini adalah biro pers pertama yang menggunakan istilah Indonesia).

Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia).

Bung Hatta, wakil Presiden RI ke satu dalam memoir yang ditulisnya pada 1979 menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya

Bung Hatta juga mendirikan Indonesische Vereniging , yang menerbitkan majalah dwibulanan Hindia Poetra, Hatta pengasuhnya.  Penerbitan Hindia Poetra itu kemudian menjadi praktek manjur bagi para intelektual muda itu menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam dua edisi pertama, Hatta menyumbangkan kritiknya akan sewa tanah industri gula di Hindia Belanda yang merugikan kalangan tani.

ketika Nazir (1924) memimpin Indonesische Vereniging, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Ketika giliran Soekiman Wirjosandjojo yang memimpin (1925), nama Indonesische Vereniging resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Dan di tahun yang sama Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij)

Pada satu tahun sebelumnya, kemudian Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).Itulah empat organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia

Setelah itu, 3 tahun sesudahnya nama Indonesia secara resmi dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 (kita mengenalnya dengan Kongres Pemuda), yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Kemudian dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, bersamaan dengan hengkangnya belanda maka lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Setelah melalui masa sulit selama penjajahan Jepang, Lalu Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno,maka paska itu lahirlah Republik Indonesia yang diakui secara kontitusional hingga sekarang. (Wan)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SETARA NEWS - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger