Lembaga Pers Mahasiswa Setara Unswagati - Cirebon. Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Resume Buku Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi

Resume Buku Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi

Written By Lembaga Pers Mahasiswa Setara on Sabtu, 19 Januari 2013 | 07.55

Terorisme Di Indonesia : Dalam Tinjauan Psikologi
Penulis : Sarlito Wirawan Sarwono
Editor : Aisyah
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Juli 2012
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-9193-19-8

Resume:


Ada 10 (sepuluh) point di dalam buku Terorisme di Indonesia, di dalam buku tersebut diantaranya; Lima Ide Berbahaya, Profil Pelaku Bom Bali I, Analisis Keadaan Psikologis Mantan Tahanan Teroris, Apa yang Ada dalam Benak Mereka, Radikalisme da Terorisme di Indonesia; dulu dan sekarang, Bigot, Bahaya Terorisme; Penyusupan dalam Masyarakat, Radikalisme Islam Menyusup ke SMU, Agama, Epilog; dari radikalisme ke Disengagement (putus hubungan), Laporan sarasehan. 

Pendahuluan
Pelaku terorisme di Indonesia merupakan orang-orang yang normal, mereka tidak memiliki kelainan jiwa, mental, dan pola hidup dengan masyarakat lainnya. Diungkap dari video documenter BomBali 1, Daniel Rudy Haryanto yang melakukan wawancara terhadap 4 terpidana Bom Bali 1 yakni Imam Samudra, Amrozi, Gufron, dan Ali Imron. Mereka memiliki ideology yang berbeda , ideology mereka radikalisme setara dengan ideology Kamikaze Jepang dalam Perang Dunia II, dan ideology pejuang Kemerdekaan RI 1945 menurut penelitian yang dikembangkan oleh Lembaga Penelitian Psikologi UI.
Perkembangan ideology tentang radikalisme sangat mengkhawatirkan, karena pada tahun 2011 terjadi bom bunuh diri yang dilakukan oleh  Muhammad Syarif di dalam masjid Polresta Cirebon, bom buku Ramawangun, terror bom di Gereja Serpong Damai, dan bom di gereja Solo oleh Hayat adalah orang-orang yang tidak dikenal oleh polisi maupun oleh para ikhwan yang masih di dalam Rutan, ataupun yang sudah bebas. 

Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian pada tahun 2011 melakukan penelitian jejak pendapat terhadap kalangan SMP dan SMA sejabodetabek bahwa tingkat kesetujuan terhadap penggunaan kekerasan dalam isu agama seperti penyegelan, merusak tempat ibadah agama lain yang bermasalah, menyegel tempat hiburan, dan menghakimi pasutri yang tidak sah, sebanyak 48,9% hingga 75,3%. Sedangkan 21,1% menyatakan bahwa pancasila tidak relevan sebagai ideology negara. 

Ada 5 (lima) ide berbahaya menurut psikolog dari Universitas Pennsylvania - AS; Roy J Eidelson dan Judy I Eidelson dalam artikelnya yang berjudul “Dangerous Ideas” yaitu; ide, gagasan, atau kepercayaan akan berbahaya jika terjadi pada individu yang mengalami perasaan tidak senang, tidak percaya diri, sampai gelisah, dan gangguan neurosis (Neurosis adalah kesalahan penyesuaian diri secara emosional,  karena tidak selesai konflik alam tidak sadar), sementara pada tingkat kelompok dapat memicu kekerasan antar kelompok. Kelima ide itu adalah superioritas, ketidak adilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan. 

Analisis Keadaan Psikology Mantan Tahanan Teroris
Wawancara yang dilakukan terhadap anggota dan mantan anggota Jamaah Islamiyah menunjukan bahwa ada berbagai macam motivasi yang berbeda yang dapat membuat seseorang terlibat dalam terorisme, mulai dari sekedar ikut-ikutan untuk membantu teman tanpa mengetahui apa yang sebetulnya terjadi, sampai pada jihad ekstrem yang sesungguhnya, yang rela mengorbankan jiwa bagi kemenangan islam.  Terlepas dari perbedaan motivasi, terdapat kesamaan diantara para subjek; mereka semua ingin memperbaiki keadaan, yang mereka anggap sebagai tidak adil, dan tidak sejalan dengan ajaran islam. Pemerintah pada umumnya dituduh tidak adil pada islam, dan cara menjalankan negara dianggap tidak islami. Mereka melihat islam secara hitam putih antara baik dan buruk. Mereka memaknai Al-qur’an secara, leteral dan tekstual, yang ingin mengimplementasikan tanpa pertimbangan konteks sosial dan budaya. Oleh karena itu, jihad dianggap penting untuk memperbaiki situasi negara, dan jihad yang mereka pahami sebelum ditangkap artinya adalah memerangi mereka yang non muslim, dan muslim yang tidak mempraktikkan islam sesuai hukum syariah. 

Proses Bergabung dengan Kelompok Teroris;  Untuk merekrut anggota baru, kelompok fundamentalis melakukan pendekatan yang berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui kerabat, teman, guru, organisasi tersebut menawarkan informasi religious yang dibutuhkan oleh sang subjek, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam upaya membela islam juga kesempatan untuk membalas dendam. Kemudian mereka menjanjikan, mulai dari sedikit informasi mengenai islam sampai lowongan pekerjaan, status ebagai anggota JI, dan bahkan kehidupan yang indah di surge beserta fasilitasnya sebagai seorang syuhada di mata Allah. Para subjek didorong untuk meninggalkan identitas pribadi mereka dan mengubahnya menjadi identitas kelompok, atau JI. Hal ini sejalan dengan proses psikologis yang disebut “depersonalisasi” (Simeon & Abugel, 2006). Sekali mereka telah mengalami depersonalisasi, mereka akan melupakan  seluruh kepentingan pribadi dan mereka menggantinya dengan tujuan utama organisasi. 

Secara umum tidak ada ekspresi verbal yang mengindikasikan motivasi apapun untuk melakukan bunuh diri atau klaim menjadi syuhada yang keluar dari subjek pelaku. Sebagian dari mereka rela mati demi kejayaan syariah. Artinya dalam situasi tertentu dimana kematian menjadi syarat membela islam, mereka tidak akan ragu-ragu untuk melakukannya. Situasi tersebut, dimana peran seseorang sebagai anggota kelompok lebih penting daripada kepentingan individualnya sampai sanggup mengumpulkan kepercayaan diri untuk melakukan bunuh diri, dalam psikology tersebut sebagai contoh dari Teori Kepatuhan – Milgram 1974.

Kelompok/organisasi, menggunakan ayat-ayat Al-qur’an dan hadis yang diartikan secara literal, berarti bahwa orang yang berada di luar kelompok dianggap thoghut atau kafir. Sehingga ada upaya merasionalisasikan kekerasan atas dasar presepsi pemerintah yang tidak serius menangani kebatilan, halalnya menghukum kebatilan, doktrin perang global, penjajah AS, dan hukum syariah harus ditegakkan.
Beberapa dari mereka masih mengekspresikan perasaan tidak puas terhadap pemerintah, kepolisian, dan orang-orang Kristen, tetapi tidak seintensif sebelumnya. Mereka juga menginginkan masa depan yang bahagia bersama anggota keluarga mereka setelah dibebaskan dari penjara. Ada beberapa lainnya yang masih radikal dengan mempengaruhi lingkungan agar menjadi lebih radikal. 

Beberapa ahli mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang psikopat/neurotic. Namun penulis menemukan bahwa tidak ada kelainan sakit mental atau kalinan pribadi. Tidak ada sindrom skizofrenik, tidak ada tanda-tanda neurotic, namun memiliki pemikiran yang berbeda. Ada 2 (dua) tipe teroris yang berbeda yakni  actor intektual dan pelaku eksekusi.

Bagaimana mengisi pikiran mereka?
Pelaku bom bunuh diri direkrut pada anak-anak muda berumur antara 15-25 tahun,  dengan penuh bimbingan, disorientasi, dan secara sosial psikologi terisolasi. Dengan kata lain orang-orang baru memiliki pemikiran yang kosong. Proses yang lebih jauh dengan orang-orang yang berpikiran kosong, dengan diberi ajaran agama (ideology bidang politik) ajaran tersebut dirawat melalui diskusi dan pengawasan yang ketat dan harus tetap terisolasi dari berita dan informasi luar. Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa actor intelektual yang berada di belakang perencanaan mengaplikasian pendekatan yang berbeda untuk merekrut teroris yang baru. 

Sejarah kemerdekaan Indonesia menunjukan bahwa radikalisme dan terorisme berkali-kali terjadi, namun tidak semua berdasarkan ideology islam. Padathaun 1948 dan 1965 terjadi pemberontakan dan percobaan kudeta oleh PKI. 1950 pemberontakan Permesta dimotori oleh TNI di luar Jawa. GAM, Gerakan Papua Merdeka, Riau dan kaltim berwacana keluar dari NKRI. 1994-2004 kerusuhan sectarian di Ambon dan Poso. 

Dampak ke Depan ideolgi radikal terorisme masih mengancam kesatuan dan persatuan NKRI serta keutuhan bangsa Indonesia. Saran penulis adalah melakukan pemetaan radikalisme, di berbagai lapisan masyarakat, melarang mantan napi berkhutbah, mengembangkan kegiatan penggalangan dukungan dan kepedulian seluruh komponen masyarakat dalam rangka cegah dan tangkal penyebaran faham radikal dan aksi terorisme. 

Setelah melakukan Pemberdayaan Dakwah, Ikhwan-ikhwan yang pada mulanya (tahun 2009) berbicara keras, sekarang sudah bisa bicara di TV dengan membawa misi damai, malah cenderung mendukung NKRI. Apalagi dengan program silaturohmi antara pelaku bom dengan kroban. Namun orang orang hanya melihat bahwa program deradikalisasi gagal, sehingga menjadi residivisme dari mantan teroris, dan terorisme berlangsung terus. Residivisme memang terjadi, tetapi dari sekian banyak ikhwan yang terlibat dalam program ini (sejak 2009), tidak ada seorang pun yang mengjadi residivis. Yang terjadi justru munculnya wajah-wajah baru pelaku bom bunuh diri, yang berasal dari umat islam yang awam/mainstream yang meradikalisasi dirinya sendiri. Inilah ancaman yang perlu diwaspadai.

 

 Oleh : Santosa
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SETARA NEWS - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger