Terorisme Di Indonesia : Dalam Tinjauan Psikologi
Penulis : Sarlito Wirawan Sarwono
Editor : Aisyah
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Juli 2012
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-9193-19-8
Resume:
Oleh : Santosa
Penulis : Sarlito Wirawan Sarwono
Editor : Aisyah
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Juli 2012
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-9193-19-8
Resume:
Ada 10 (sepuluh) point
di dalam buku Terorisme di Indonesia, di dalam buku tersebut diantaranya; Lima
Ide Berbahaya, Profil Pelaku Bom Bali I, Analisis Keadaan Psikologis Mantan
Tahanan Teroris, Apa yang Ada dalam Benak Mereka, Radikalisme da Terorisme di
Indonesia; dulu dan sekarang, Bigot, Bahaya Terorisme; Penyusupan dalam
Masyarakat, Radikalisme Islam Menyusup ke SMU, Agama, Epilog; dari radikalisme
ke Disengagement (putus hubungan), Laporan sarasehan.
Pendahuluan
Pelaku terorisme di
Indonesia merupakan orang-orang yang normal, mereka tidak memiliki kelainan
jiwa, mental, dan pola hidup dengan masyarakat lainnya. Diungkap dari video
documenter BomBali 1, Daniel Rudy Haryanto yang melakukan wawancara terhadap 4
terpidana Bom Bali 1 yakni Imam Samudra, Amrozi, Gufron, dan Ali Imron. Mereka
memiliki ideology yang berbeda , ideology mereka radikalisme setara dengan ideology
Kamikaze Jepang dalam Perang Dunia II, dan ideology pejuang Kemerdekaan RI 1945
menurut penelitian yang dikembangkan oleh Lembaga Penelitian Psikologi UI.
Perkembangan ideology
tentang radikalisme sangat mengkhawatirkan, karena pada tahun 2011 terjadi bom
bunuh diri yang dilakukan oleh Muhammad
Syarif di dalam masjid Polresta Cirebon, bom buku Ramawangun, terror bom di
Gereja Serpong Damai, dan bom di gereja Solo oleh Hayat adalah orang-orang yang
tidak dikenal oleh polisi maupun oleh para ikhwan yang masih di dalam Rutan,
ataupun yang sudah bebas.
Lembaga Kajian Islam
dan Perdamaian pada tahun 2011 melakukan penelitian jejak pendapat terhadap
kalangan SMP dan SMA sejabodetabek bahwa tingkat kesetujuan terhadap penggunaan
kekerasan dalam isu agama seperti penyegelan, merusak tempat ibadah agama lain
yang bermasalah, menyegel tempat hiburan, dan menghakimi pasutri yang tidak
sah, sebanyak 48,9% hingga 75,3%. Sedangkan 21,1% menyatakan bahwa pancasila
tidak relevan sebagai ideology negara.
Ada 5 (lima) ide berbahaya menurut psikolog dari Universitas Pennsylvania
- AS; Roy J Eidelson dan Judy I Eidelson dalam artikelnya yang berjudul
“Dangerous Ideas” yaitu; ide, gagasan, atau kepercayaan akan berbahaya jika
terjadi pada individu yang mengalami perasaan tidak senang, tidak percaya diri,
sampai gelisah, dan gangguan neurosis (Neurosis adalah
kesalahan penyesuaian diri secara emosional, karena tidak selesai konflik
alam tidak sadar), sementara pada
tingkat kelompok dapat memicu kekerasan antar kelompok. Kelima ide itu adalah
superioritas, ketidak adilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan
ketidakberdayaan.
Analisis Keadaan Psikology Mantan Tahanan
Teroris
Wawancara yang
dilakukan terhadap anggota dan mantan anggota Jamaah Islamiyah menunjukan bahwa
ada berbagai macam motivasi yang berbeda yang dapat membuat seseorang terlibat
dalam terorisme, mulai dari sekedar ikut-ikutan untuk membantu teman tanpa
mengetahui apa yang sebetulnya terjadi, sampai pada jihad ekstrem yang
sesungguhnya, yang rela mengorbankan jiwa bagi kemenangan islam. Terlepas dari perbedaan motivasi, terdapat
kesamaan diantara para subjek; mereka semua ingin memperbaiki keadaan, yang
mereka anggap sebagai tidak adil, dan tidak sejalan dengan ajaran islam.
Pemerintah pada umumnya dituduh tidak adil pada islam, dan cara menjalankan
negara dianggap tidak islami. Mereka melihat islam secara hitam putih antara
baik dan buruk. Mereka memaknai Al-qur’an secara, leteral dan tekstual, yang
ingin mengimplementasikan tanpa pertimbangan konteks sosial dan budaya. Oleh
karena itu, jihad dianggap penting untuk memperbaiki situasi negara, dan jihad
yang mereka pahami sebelum ditangkap artinya adalah memerangi mereka yang non
muslim, dan muslim yang tidak mempraktikkan islam sesuai hukum syariah.
Proses Bergabung dengan Kelompok Teroris; Untuk
merekrut anggota baru, kelompok fundamentalis melakukan pendekatan yang
berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui kerabat, teman,
guru, organisasi tersebut menawarkan informasi religious yang dibutuhkan oleh
sang subjek, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam upaya membela islam
juga kesempatan untuk membalas dendam. Kemudian mereka menjanjikan, mulai dari
sedikit informasi mengenai islam sampai lowongan pekerjaan, status ebagai
anggota JI, dan bahkan kehidupan yang indah di surge beserta fasilitasnya
sebagai seorang syuhada di mata Allah. Para subjek didorong untuk meninggalkan
identitas pribadi mereka dan mengubahnya menjadi identitas kelompok, atau JI.
Hal ini sejalan dengan proses psikologis yang disebut “depersonalisasi” (Simeon
& Abugel, 2006). Sekali mereka telah mengalami depersonalisasi, mereka akan
melupakan seluruh kepentingan pribadi
dan mereka menggantinya dengan tujuan utama organisasi.
Secara umum tidak ada
ekspresi verbal yang mengindikasikan motivasi apapun untuk melakukan bunuh diri atau klaim menjadi syuhada yang keluar
dari subjek pelaku. Sebagian dari mereka rela mati demi kejayaan syariah.
Artinya dalam situasi tertentu dimana kematian menjadi syarat membela islam,
mereka tidak akan ragu-ragu untuk melakukannya. Situasi tersebut, dimana peran
seseorang sebagai anggota kelompok lebih penting daripada kepentingan
individualnya sampai sanggup mengumpulkan kepercayaan diri untuk melakukan
bunuh diri, dalam psikology tersebut sebagai contoh dari Teori Kepatuhan –
Milgram 1974.
Kelompok/organisasi, menggunakan ayat-ayat Al-qur’an dan hadis
yang diartikan secara literal, berarti bahwa orang yang berada di luar kelompok
dianggap thoghut atau kafir. Sehingga ada upaya merasionalisasikan kekerasan atas
dasar presepsi pemerintah yang tidak serius menangani kebatilan, halalnya
menghukum kebatilan, doktrin perang global, penjajah AS, dan hukum syariah
harus ditegakkan.
Beberapa dari mereka
masih mengekspresikan perasaan tidak puas terhadap pemerintah, kepolisian, dan
orang-orang Kristen, tetapi tidak seintensif sebelumnya. Mereka juga
menginginkan masa depan yang bahagia bersama anggota keluarga mereka setelah
dibebaskan dari penjara. Ada beberapa lainnya yang masih radikal dengan
mempengaruhi lingkungan agar menjadi lebih radikal.
Beberapa ahli
mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang
psikopat/neurotic. Namun penulis menemukan bahwa tidak ada kelainan sakit
mental atau kalinan pribadi. Tidak ada sindrom skizofrenik, tidak ada tanda-tanda
neurotic, namun memiliki pemikiran yang berbeda. Ada 2 (dua) tipe teroris yang
berbeda yakni actor intektual dan pelaku
eksekusi.
Bagaimana mengisi pikiran mereka?
Pelaku bom bunuh diri
direkrut pada anak-anak muda berumur antara 15-25 tahun, dengan penuh bimbingan, disorientasi, dan
secara sosial psikologi terisolasi. Dengan kata lain orang-orang baru memiliki
pemikiran yang kosong. Proses yang lebih jauh dengan orang-orang yang
berpikiran kosong, dengan diberi ajaran agama (ideology bidang politik) ajaran
tersebut dirawat melalui diskusi dan pengawasan yang ketat dan harus tetap
terisolasi dari berita dan informasi luar. Terdapat kecenderungan yang kuat
bahwa actor intelektual yang berada di belakang perencanaan mengaplikasian
pendekatan yang berbeda untuk merekrut teroris yang baru.
Sejarah kemerdekaan Indonesia menunjukan bahwa radikalisme dan terorisme
berkali-kali terjadi, namun tidak semua berdasarkan ideology islam. Padathaun
1948 dan 1965 terjadi pemberontakan dan percobaan kudeta oleh PKI. 1950
pemberontakan Permesta dimotori oleh TNI di luar Jawa. GAM, Gerakan Papua
Merdeka, Riau dan kaltim berwacana keluar dari NKRI. 1994-2004 kerusuhan
sectarian di Ambon dan Poso.
Dampak ke Depan ideolgi radikal terorisme masih mengancam
kesatuan dan persatuan NKRI serta keutuhan bangsa Indonesia. Saran penulis
adalah melakukan pemetaan radikalisme, di berbagai lapisan masyarakat, melarang
mantan napi berkhutbah, mengembangkan kegiatan penggalangan dukungan dan
kepedulian seluruh komponen masyarakat dalam rangka cegah dan tangkal
penyebaran faham radikal dan aksi terorisme.
Setelah melakukan Pemberdayaan Dakwah, Ikhwan-ikhwan yang pada mulanya (tahun 2009)
berbicara keras, sekarang sudah bisa bicara di TV dengan membawa misi damai,
malah cenderung mendukung NKRI. Apalagi dengan program silaturohmi antara
pelaku bom dengan kroban. Namun orang orang hanya melihat bahwa program
deradikalisasi gagal, sehingga menjadi residivisme dari mantan teroris, dan
terorisme berlangsung terus. Residivisme memang terjadi, tetapi dari sekian
banyak ikhwan yang terlibat dalam program ini (sejak 2009), tidak ada seorang
pun yang mengjadi residivis. Yang terjadi justru munculnya wajah-wajah baru
pelaku bom bunuh diri, yang berasal dari umat islam yang awam/mainstream yang
meradikalisasi dirinya sendiri. Inilah ancaman yang perlu diwaspadai.
Oleh : Santosa
0 komentar:
Posting Komentar