Di
sepanjang tahun 2012, Indonesia semakin dilanda krisis dan penjajahan dari
berbagai bidang. Entah penjajahan dari segi mental maupun ekonomi. Tentu masih
hangat di telinga kita bagaimana stasiun-stasiun televisi menyajikan berita
tentang kelangkaan kedelai, pengrajin tempe dan tahu yang terpaksa tutup karena
harga kedelai yang digunakan sebagai bahan dasar melambung tinggi hingga
tayangan membanjirnya kedelai impor. Ya, pasar Indonesia kembali diperkosa. Dengan masuknya kedelai impor
Amerika Serikat dengan pajak yang diturunkan hingga 0% (Skep
Mendagri per 26/07/2012) semakin
menunjukkan bahwa Indonesia memang bangsa bermental tempe yang kehilangan tempe.
Dilematis
memang ketika kebutuhan kedelai Nasional diperkirakan hingga mencapai 2,2 juta
ton ternyata tidak seimbang dengan hasil panen petani kedelai yang hanya
mencapai ±800.000 ton saja. Terdapat kesenjangan antara produksi kedelai dengan
kebutuhan kedelai secara Nasional. Inilah yang menjadi dalih pemerintah saat
menurunkan bea masuk kedelai impor yang tadinya 5% menjadi 0%, seperti dikutip dari harian Kompas (27/07)
Kebijakan
klasik yang menikam petani Indonesia di tengah-tengah krisis pangan. Padahal, menurut
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Haryono mengungkapkan Indonesia sesungguhnya
kaya akan varietas kedelai. Hingga hari ini Indonesia memiliki 73 varietas. Indonesia pun
memiliki benih dari hasil persilangan dan cocok untuk ditanam di berbagai
kondisi tanah. kedelai di Indonesia sudah bisa dipanen dalam waktu 80-90 hari,
sedangkan kedelai di Amerika Serikat butuh waktu sekitar 130 hari,
ujarnya.
Indonesia sebenarnya mampu bersaing
dengan Amerika Serikat dan tidak perlu impor jika memaksimalkan potensi yang
dimiliki oleh pertanian
Indonesia. Miris memang, ketika Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah tetapi masih menghamba
kepada Negara asing. Tentu masih ingat dibenak kita bagaimana pemerintah dengan
mudahnya mengimpor berbagai komoditas seperti bawang, tanaman
rempah, produk hortikultura dan
buah-buahan hingga garam. Petani Indonesia semakin termarginalkan. Pada akhirnya,
Indonesia akan memasuki era neoliberalisasi akut yang mengancam perekonomian
Indonesia.
Awal mula neoliberalisasi ekonomi
sebenarnya terjadi ketika Soeharto menandatangani LOI (Letter of Intent) dari
IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Yang dampaknya sangat terasa hingga hari ini.
Hal itu terbukti bagaimana kapitalis dan bangsa asing dengan mudahnya keluar
masuk pasar Indonesia yang semakin mematikan pasar-pasar tradisonal di
Indonesia. Inilah yang semakin mengerikan ketika supply dan demand memasuki
equilibrium baru, pemerintah tidak akan mampu melindunginya karena Indonesia
sudah berada dalam genggaman dominasi Negara asing yang memiliki kekuatan ekonomi lebih besar.
Bukan hanya itu sebenarnya,
menjalarnya neoliberalisasi juga karena faktor pendidikan ekonomi kita yang
cenderung ke arah neoliberasisasi. Andaikan calon ekonom tersebut dididik dalam kerangka kerakyatan
dimana kesejahteraan bukan hanya milik segelintir orang tetapi memikirkan
bagaimana nasib bangsa ke depan maka tidak akan lagi ada ekonom kita yang
menerapkan neoliberalisasi yang akhirnya menimbulkan ruang kesenjangan yang makin
besar diantaranya
yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Indonesia sudah kehilangan
berbagai kekayaan dan potensi hingga dicap sebagai ‘bangsa bermental tempe’.
Lalu, haruskah Indonesia kehilangan tempe? Harus ada alternatif solusi jika
sudah seperti ini, yakni mengembalikan perekonomian Indonesia ke dalam naungan
kerakyatan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, Ekonomi Kerakyatan adalah sebuah
sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam
bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut:
(1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Indonesia memang menganut sistem
perekonomian kerakyatan yang dicetuskan oleh Moh. Hatta (Wapres
RI ke 1),
namun pada implementasinya justru menjauh
dari nilai-nilai perekonomian kerakyatan. Sudah waktunya Indonesia
mengembalikan perekonomian kepada pilar-pilar kerakyatan dan memperkuat
perekonomian pedesaan dengan memaksimalkan potensi pertanian yang disesuaikan
dengan regulasi dan implementasi yang pro rakyat agar tidak dicap lagi sebagai
‘Bangsa bermental tempe yang kehilangan tempe’.
Oleh: Nia Nurohmiasih
Oleh: Nia Nurohmiasih
0 komentar:
Posting Komentar