Pemberdayaan
bisa mempunyai makna yang berbeda-beda, tergantung dari sisi dan latar belakang
realitas yang dihadapi oleh sekumpulan maupun individu. Namun yang paling dekat
dengan kita, dan yang paling mudah dipahami bahwa pemberdayaan berasal dari
kata “daya” yang berarti mampu atau mempunyai kemampuan dalam hal ekonomi,
politik dan tentu saja mampu mandiri dalam tatanan kehidupan sosial.
Pemberdayaan di pedesaan dan di perkotaan pada umumnya mempunyai kesamaan,
yakni peningkatan ekonomi, pendidikan, akses sebagai warga dan
hubungan-hubungan yang menghasilkan perilaku politik.
Pemberdayaan
bisa mempunyai makna yang berbeda-beda, tergantung dari sisi dan latar belakang
realitas yang dihadapi oleh sekumpulan maupun individu. Namun yang paling dekat
dengan kita, dan yang paling mudah dipahami bahwa pemberdayaan berasal dari
kata “daya” yang berarti mampu atau mempunyai kemampuan dalam hal ekonomi,
politik dan tentu saja mampu mandiri dalam tatanan kehidupan sosial. Pemberdayaan
di pedesaan dan di perkotaan pada umumnya mempunyai kesamaan, yakni peningkatan
ekonomi, pendidikan, akses sebagai warga dan hubungan-hubungan yang
menghasilkan perilaku politik.
Namun
beberapa konsep pemberdayaan yang telah dimutakhirkan oleh pemerintah adalah
pemberdayaan melalui nilai-nilai universal kemanusiaan yang luntur untuk di
bangkitkan kembali, tujuan dari pemberdayaan ini adalah perubahan sikap dan
perilaku menjadi lebih baik. Praktiknya tetap saja memakai konsep kesadaran dan
kemauan dari dalam masyarakat itu sendiri, kemudian lebih dikenal dengan participatory
rural appraisal (PRA).
Bukanlah
hal yang sangat penting untuk membahas kata pemberdayaan, hal yang paling
penting adalah melihat realitas tentang kondisi yang ada sekarang ini, terutama
yang mengenai ekonomi keluarga, sosial dan lingkungan, apakah kita bisa berdaya
untuk menghadapi kehidupan yang semakin kompleks, atau bahkan kita justru telah
diperdayakan oleh keadaan, sistem, dan keadaan yang terus-menerus terjadi.
Sementara
kita tidak mau untuk merubah kondisi-kondisi tersebut. Banyak hal yang membuat
masyarakat terpuruk dan terpaksa harus hidup dalam standar kualitas hidup yang
rendah, baik dari segi pendidikan, pelayanan kesehatan dan ekonomi. Untuk
mendorong dan membangkitkan kemampuan sebagai wujud pemberdayaan, perlu
memunculkan kembali nilai-nilai, kearifan lokal dan modal sosial yang dari
dahulu memang sudah dianut oleh leluhur kita yang tinggal di pedesaan dalam “kegotong-royongan”
yang saat ini sudah mulai terkikis.
Dengan
gotong royong, masyarakat desa bisa dan mampu mengelola Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) praktiknya bisa memanfaatkan sumber daya alam rawa untuk diisi dengan
bibit ikan dalam jumlah puluhan ribu dan lain-lain, untuk tipikal desa dataran
rendah (pesisir), masyarakat desa bisa mengakses dan mengelola Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) sebagai BUMDes, praktiknya supaya tidak dikuasai oleh
para tengkulak dari luar. Kemungkinan BUMDes tersebut juga bisa dilakukan di
desa tipikal dataran tinggi, yaitu dengan membuat dan menjalankan bursa
komoditas sebagai BUMDes yang mempertahankan harga dan kualitas barang
pertanian buah-buahaan dan lain-lain. Selain itu juga peningkatan ekonomi
pedesaan bisa dengan memanfaatkan lahan yang kosong untuk kegiatan yang
produktif.
Masyarakat
desa juga tidak harus terfokus dengan kegiatan produktif yang harus menggunakan
barang ekonomi dan barang komoditas, sektor jasa juga masih bisa dilakukan dan
mengundang banyak minat bagi yang memiliki akses sedikit, yaitu dengan membuat
Credit Union (CU) atau yang lebih dipahami sebagai koperasi dalam tanggung
renteng. Arah pemberdayaan masyarakat desa yang paling efektif dan lebih cepat
untuk mencapai tujuan adalah dengan melibatkan masyarakat dan unsur
pemerintahan yang memang “pro poor” dengan kebijakan pembangunan yang lebih
reaktif memberikan prioritas kebutuhan masyarakat desa dalam alokasi anggaran. Sejauh
ini, sejak amandemen UU No.22 Tahun 1999 kepada UU No.32 Tahun 2004, hampir tidak
ada desa yang bisa membuat dan merealisasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDes) untuk meningkatkan dan memajukan ekonomi desa. Sementara dana
Bangdes yang jumlahnya cukup sedikit dan selalu disunat oleh oknum pemerintahan
kecamatan dan kabupaten itu, tidak mampu untuk mendongkrak perekonomian dan
keberdayaan yang diinginkan oleh warga. Awal tahun 2006 lahirlah kebijakan
Alokasi Dana Desa (ADD) dengan jumlah dana yang cukup besar. Jika tidak
didorong dengan kebijakan yang memberdayakan, baik oleh pemerintah desa maupun
masyarakat, maka ADD bisa membuang-buang uang dan tidak memberdayakan
masyarakat desa, melainkan memenjarakan kepala desa yang ikut menyunat dana ADD
tersebut
No
|
Uraian
|
Jumlah Dana per Tahun
|
Alokasi Untuk Pemberdayaan (70% dari 100%)
|
Alokasi Untuk
Pemberdayaan
partisipatif
|
1
|
Desa Perkebunan (Kebon)
|
Rp.69.000.000,-
|
Rp. 48.300.000,-
|
0
|
2
|
Desa biasa (Kampung)
|
Rp. 110.000.000,-
|
Rp. 77.000.000,-
|
0
|
3
|
Desa Tertinggal
|
Rp. 160.000.000,-
|
Rp.112.000.000,-
|
0
|
Tabel
perbandingan besaran jumlah Aloksi dana Desa di Kabupaten Labuhanbatu.
Jika
dilihat dari besarnya jumlah ADD dibandingkan dengan Bangdes yang hanya
Rp.8.000.000,- maka sudah jelas ADD lebih mampu mendongkrak dan memberdayakan
masyarakat desa. Akan tetapi bentuk dari ADD seperti bagi-bagi kue untuk
menjebak kepala desa dan masyarakat.
ALOKASI
DANA DESA
DESA
WILAYAH BIASA RP.110.000.000,-
Anggaran
untuk pembiayaan operasional pemerintahan desa 30% x Rp.110.000.000,-
=Rp.33.000.000,-
Anggaran
untuk pembiayaan pemberdayaan masyarakat 70% x Rp.110.000.000,- =Rp.77.000.000,-
Total
=Rp.110.000.000,-
Rincian
dan penjelasan pos-pos pembiayaan
Anggaran
untuk pembiayaan operasional pemerintahan desa = Rp.33.000.000,-
a.
Operasional penyelenggaraan pemerintahan desa 50%xRp.33.000.000,- =
Rp.16.500.000,-
b.
Operasional BPD 30%xRp.33.000.000,- = RP. 9.900.000,-
c.
Tambahan Penghasilan kepala Desa/Perangkat Desa 20%xRp.33.000.000,- =Rp.
6.660.000,-
Total
=Rp.33.000.000,-
II.
Anggaran untuk Pembiayaan Pemberdayaan*) Masyarakat = Rp.77.000.000,-
a.
Pembangunan Infrastruktur 70%xRp.77.000.000,- =Rp.53.900.000,-
b.Bantuan
Modal Untuk Rumah Tangga Miskin 10%xRp.77.000.000,- =Rp. 7.700.000,-
c.Operasional
LKMD 8%xRp. 77.000.000,- =Rp. 6.160.800,-
d.Operasional
Tim Penggerak PKK 5%xRp.48.300.000,- =Rp. 3.850.000,-
e.Operasional
Kader Pos Yandu 3%xRp.48.300.000,- =Rp. 2.310.000,-
f.Bantuan
Pengembangan Sosial/Budaya & Keagamaan 4%xRp.48.300.000,- =Rp. 3.080.000,-
Total
=Rp. 77.000.000,-
*)
Program seperti Cek Kosong yang sudah diprogram oleh Kabupaten Labuhanbatu dan harus
dijalankan sesuai dengan alokasi yang ada. Di berbagai desa, infra struktur
jalan dan lain-lain sudah memadai namun ”pemberdayaan” dalam program ADD
tersebut menempatkan pembangunan sarana Fisik dan tidak menempatkan manusia
sebagai pembangun di desanya, melainkan manusia yang dibangun.
Data
Survey Dari Desa Tebangan Kec.Bilah Barat dan Desa Aek Bontar Kec.Bilah Hulu
yang dilakukan mulai tahun 2004 hingga 2007. beberapa desa yang melakukan
pemberdayaan (swadaya) oleh kelompok swadaya yang tidak di program (proyek)
justru berhasil dengan baik, seperti membuat kolam ikan mas, , nila dan lele
secara kolektif yang bisa ditularkan ke beberapa dusun lain di Bilah Barat.
Membangun Mesjid, Aula Desa dan Sekolah secara swadaya juga berhasil di
Kec.Bilah Hulu dan dikerjaan sendiri. Pemberdayaan partisipatif dari pemerintah
melalui anggaran belum menyentuh kebutuhan nyata masyarakat desa untuk
berkembang sesuai dengan karakteristik desa tersebut.
Banyak
hal telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat agar masyarakat
mampu dan bangkit dari keterpurukan ekonomi yang berkepanjangan, namun hal itu
bukanlah jurus yang ampuh untuk memberdayaakan masyarakat. Jaringan
Pengaman Sosial (JPS), PDM-DKE, P2MD, P3DT, Pemugaran Perumahan
Nelayan dan masih ada ratusan jenis program yang bersifat proyek, dari tahun
1998 dan sekarang ada Raskin sesudah BLT, hanya membantu makan
orang yang kurang mampu saja, namun belum menyentuh pada perilaku
yang memberdayakan. Dan masih ada ratusan daftar program penanggulangan
berbagai hal yang tidak berhasil di Indonesia. Untuk contoh kasus yang lebih
dekat adalah program PKK (pemberdayan kesejahteraan keluarga) yang kehadiran
masih terus ada, namun bila dilakukan refleksi maka dampaknya akan sangat
membingungkan masyarakat desa. Belum berhasilnya upaya pemberdayaan dan
penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah seperti
penyediaan kebutuhan pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, pembangunan pertanian,
pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan prasarana umum dan pendampingan
, dikarenakan kebijakan program yang selama ini dilakukan merupakan kebijakan
dari pemerintah pusat (top down), di mana kebijakan tersebut mempunyai banyak
kelemahan yang perlu dikoreksi secara mendasar seperti:
(1)
Pemberdayaan yang berindikasi KKN
(2)
Masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro
(3)
Kebijakan yang terpusat
(4)
Lebih bersifat karikatif
(5)
Memposisikan masyarakat sebagai obyek
(6)
Cara pandang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi
(7)
Bersifat sektoral
(8)
Kurang terintegrasi
(9)
Tidak berkelanjutan atau mengesampingkan faktor/daya dukung lingkungan.
Untuk
itu perlu diperhatikan beberapa hal penting dalam memajukan masyarakat desa
dalam pemberdayaan:
1.
Fasilitasi untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi masyarakat desa
melalui kegiatan forum rembuk diskusi reguler yang dilakukan secara keliling
antar desa (rural rountable disscussion) dengan pemahaman belajar dari
pengalaman untuk menjadikan daur program pemberdayaan.
2.
Fasilitasi pemetaan partisipatif oleh masyarakat desa sebagai dasar penggalian
kebutuhan, permasalahan, potensi sumber daya alam, dan masyarakat desa.
3.
Memfasilitasi penggalangan dan penggunaan sumber dana untuk skala kebutuhan
prioritas dan perekonomian desa yang dituangkan dalam PERDes dan APBDes baik
dari pemerintah maupun pihak-pihak lain.
4.
Fasilitasi pemahaman dan kemitraan pemerintah desa, BPD dan masyarakat adalah
mitra dan sekaligus agen perubahan yang mampu menyusun dan merencanakan APBDes
yang akan dituangkan dalam Alokasi Dana Desa (ADD).
5.
Memfasilitasi dan menumbuhkan fasilitator dari desa itu sendiri sebagai agen
perubahan dari dalam (PRA) yang memotivasi kegiatan belajar dan karakteristik
desa untuk menemukan pola ekonominya sendiri.
6.
Memfasilitasi kaum perempuan untuk lebih terlibat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan
dan perkembangan pedesaan.
7.
Membuat media warga sebagai sarana akuntabilitas dan transparansi dalam
berkegiatan dan penggunaan anggaran desa.
8.
Memanfaatkan sumber potensi desa, mengelola secara berkesinambungan, dan ramah
lingkungan. Dengan demikian, walaupun keberdayaan masyarakat desa belum
sepenuhnya dikatakan berhasil, namun arah menuju keberhasilan dan perubahan
sudah jelas terjadi dan menjadi kapital sosial yang akan membangkitkan kembali
nilai-nilai yang mampu mensejahterakan dan memanusiakan manusia dalam pembanguan
wilayah pedesaan.
Ilham
Maulana
Ketua
Forum Masyarakat Labuhan Batu
(FORMAL
Wilayah Labuhan Batu)
0 komentar:
Posting Komentar