Mahasiswa
hari ini, dimanapun cenderung untuk mewarnai aktifitas keseharian mereka dengan
kegiatan-kegiatan bersifat rekreatif dan kurang guna. Semakin banyaknya
mahasiswa pehobies ini dapat disamakan sebagai penyakit, virus
endemik atau borok yang akan menyebar
ke banyak mahasiswa lainnya apabila dibiarkan. Orientasi atau sebut saja
motivasi mahasiswa pehobies macam
ini, selalu tidak jauh dari tiga hal yaitu eksistensi diri, pemuasan diri dan
gaya hidup. Seringkali aktifitas mahasiswa pehobies
tersebut mendasarkan pada beberapa dalih yang bagi mereka cukup rasional
dijadikan pembenar bagi aktifitas mereka. Mereka pun hobi mengucapkan kata
‘Proses’, ‘Eksplorasi Diri’, ‘Tahap
Belajar’ hingga kata-kata lainnya yang sebenarnya bagi mereka cukup asing dan
rumit untuk dimengerti makna substansinya.
Keberadaan
UKM-UKM yang cenderung melakukan
kegiatan rekreatif bagi mahasiswa dalam rekaman sejarah diciptakan ketika era
Orde Baru pada tahun 1985. Dimana UKM maupun organisasi mahasiswa yang lebih
bersifat rekreatif adalah bentuk representasi rezim Suharto kala itu untuk meng-akali
aktifitas mahasiswa di kampus-kampus agar tak lagi sibuk mengurusi/memprotes perubahan
social , politik dan budaya yang cukup menggangu jalannya kekuasaan. Pada tahun
1978 pemerintah dengan Menteri Pendidikan kala itu Daoed Jusuf mengeluarkan SK
tentang pelarangan adanya DM (Dewan Mahasiswa) di seluruh kampus se Indonesia
dan berganti menjadi Senat atau yang kita kenal saat ini sebagai BEM, dengan
membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan memantau segala
aktifitas mahasiswa di setiap kampus agar tidak lagi meneror kekuasaan kala
itu, yang hingga saat ini kita kenal dengan sebutan Pembantu/Wakil Rektor III. Dimana
segala acara kegiatan dan aktifitas mahasiswa harus melalui sepengetahuan,
seijin dan sepengawasan pembantu/wakil Rektor III. Dengan dalih pemerintah kala
itu, agar kegiatan mahasiswa lebih terarah dan terakomodir padahal sesungguhnya
itu adalah sebagai metode pemerintah untuk dapat membatasi dan menekan ruang
gerak mahasiswa.
Namun,
sejak tahun 1978 hingga 34 tahun kemudian tepatnya 2012, kondisi kultur dan
kehidupan kampus di Indonesia sudah sangat jauh berbeda. Baik kualitas maupun
kuantitas. Apabila dahulu (sebelum dan di tahun 1974) belum banyak
kampus-kampus berdiri dengan jumlah yang sangat terbatas, namun kini dengan
banyaknya jumlah kampus di seluruh daerah di Indonesia (ibarat jamur yang mekar
di musim hujan) tidak sedikit putra-putri bangsa yang tidak dapat menikmati
jenjang perkuliahan karena ketiadaan biaya. Ditambah dengan kualitas
mahasiswanya yang sudah terkontaminasi virus penyakit dan indikasi keracunan
akut berbagai rutinitas, kebiasaan hingga kebudayaan yang lazim kita temui
sehari-hari dengan sebutan budaya hedonisme
dan budaya pop akhirnya menghasilkan mahasiswa yang pandai bermarturbasi dalam
aktifitas rekreatif mereka seringkali dijadikan dalih antara lain music,
fotografi, sastra, otomotif dll yang akhirnya dapat menjadikan diri mereka tersebut makhluk eksis millennium (Saras 008 dan
Panji Milenium?)
Terlihat
sarkas saya menggambarkan mahasiswa pehobies
semacam tadi, namun ya itulah realita yang sedang terjadi. Sekalipun pahit
untuk kita ketahui, namun itulah faktanya. Berapa banyak lagi mahasiswa onani
yang akan menjadi racun dalam kehidupan di kampus-kampus? Mahasiswa semacam itu
harus kita obati (ayo ramai-ramai kita bawa ke ahli kejiwaan). Kegiatan mereka
yang lebih bersifat rekreatif dan cenderung autis harus diminimalisir (tidak
berarti dilarang). Ditambah lagi dengan perubahan metoda kurikulum dalam
pendidikan di perguruan tinggi yang memaksa mahasiswa tekun dan giat dalam
lomba menyalin berbagai artikel, tulisan orang lain dari internet untuk mereka
jadikan tugas makalah/paper (modal pintar:
Mbah google) dan di print
mengatasnamakan nama mereka? Apakah hal ini tidak membuat kita para mahasiswa
semakin cepat menjadi robot bersyahwat? Bukankah rutinitas semacam itu tak
membentuk calon-calon koruptor di masa depan dengan adanya ‘mata kuliah’ (yang dilakukan di sepanjang
semester) Plagiatisme?
Banyaknya
mahasiswa pehobies yang menjalankan
aktifitas rekreatifnya, seringkali menjadi manusia Galau yang akan menjadi distorsi peradaban (baca: mahasiswa beronani) dan menggangu kehidupan dan
keberlangsungan pendidikan dalam mencapai fungsinya. Terakhir, saya mengajak
setiap orang yang membaca artikel ini untuk beramal (amal bukan hanya di masjid
atau di lampu merah) dengan memperbanyak lembar tulisan ini dan memberikan
kepada sahabat, saudara, teman kita yang saat ini perlu kita tolong sebelum
mereka benar-benar menjadi robot yang bersyahwat.
Oleh: Dede W.
Oleh: Dede W.
2 komentar:
maaf mengganggu saya hanya ingin berbagi artikel yang berkaitan tentang gaya hidup mahasiswa
berikut linknya :
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3478/1/JURNAL_2.pdf
semoga bermanfaat :)
terima kasih atas komentarnya., semoga bermanfaat.
Posting Komentar