Beberapa hari kemarin, berbagai kota di
Indonesia diwarnai dengan ekspresi penolakan masyarakat pada rencana pemerintah
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Tidak hanya mahasiswa, pelajar,
ibu-ibu rumah tangga hingga buruh, tumpah ruah di jalanan untuk meneriakkan
penolakan itu. Pada minggu ketiga dan keempat Maret 2012 misalnya, ribu buruh
dan mahasiswa dari berbagai elemen mengepung Istana Merdeka maupun DPR RI,
untuk menegaskan bahwa kenaikan harga BBM hanya akan membuat kehidupan
masyarakat semakin sulit dan sengsara.
Alasan
pemerintah merencanakan kenaikan harga BBM pada 1 April yang lalu ini yaitu, “prinsip kenaikan harga BBM dilakukan tidak lain demi
menyehatkan dan menyelamatkan APBN 2012, defisit APBN kita sudah melampaui tiga
persen. Malah sudah mencapai 3,6 persen. Padahal, UU kita tidak mengizinkan
defisit di atas tiga persen," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada
salah satu media cetak swasta, Sabtu
(24/3/2012).
Perencanaan
pemerintah untuk menaikan harga BBM di masukkan dalam jadwal Sidang Paripurna
DPR yang memakan waktu sangat panjang, sejak pukul 10.00 WIB berlarut sampai
dengan pukul 01.00 WIB ini menghasilkan penundaan kenaikan harga BBM dan
melahirkan UU APBN-P 2012. Peta politik terjadi pada ayat 6a pasal 7,
menyatakan memperbolehkan pemerintah mengubah harga BBM jika harga minyak
mentah (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata
15 persen dari harga patokan US$ 105 dalam waktu 6 bulan. Demokrat
yang semula mengusulkan ayat 6a rata-rata kenaikan harga minyak (ICP) 5% dan
pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga, namun
kemudian beralih ke opsi yang memilih nilai rata-rata kenaikan sebesar 15%.
Begitu juga dengan PAN, PKB, PPP, dan Golkar beralih ke opsi ini. PKS sempat
abu-abu: awalnya menawarkan opsi 20% tetapi kemudian tidak jelas sikapnya, dan
di akhir memilih untuk menolak ayat 6a: bergabung dengan PDIP dan Gerindra.
“Lahirnya
pasal 7 ayat 6a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 ini,
pemerintah seakan-akan tidak memikirkan dampak yang dapat makin menyengsarakan
rakyat yang pada saat ini belum bisa di bilang sejahtera dan membuat masyarakat
berada dalam ketidakpastian. Pasal tersebut juga memberi kewenangan tanpa
persetujuan DPR,“ ungkap mahasiswa Fakultas Hukum Unswagati Rizki Felani. (ara)
0 komentar:
Posting Komentar