Lembaga Pers Mahasiswa Setara Unswagati - Cirebon. Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Kritisi Rencana Kenaikan Harga BBM

Kritisi Rencana Kenaikan Harga BBM

Written By Lembaga Pers Mahasiswa Setara on Kamis, 10 Mei 2012 | 15.12


Beberapa hari kemarin, berbagai kota di Indonesia diwarnai dengan ekspresi penolakan masyarakat pada rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Tidak hanya mahasiswa, pelajar, ibu-ibu rumah tangga hingga buruh, tumpah ruah di jalanan untuk meneriakkan penolakan itu. Pada minggu ketiga dan keempat Maret 2012 misalnya, ribu buruh dan mahasiswa dari berbagai elemen mengepung Istana Merdeka maupun DPR RI, untuk menegaskan bahwa kenaikan harga BBM hanya akan membuat kehidupan masyarakat semakin sulit dan sengsara.

Alasan pemerintah merencanakan kenaikan harga BBM pada 1 April yang lalu ini yaitu, “prinsip kenaikan harga BBM dilakukan tidak lain demi menyehatkan dan menyelamatkan APBN 2012, defisit APBN kita sudah melampaui tiga persen. Malah sudah mencapai 3,6 persen. Padahal, UU kita tidak mengizinkan defisit di atas tiga persen," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada salah satu media cetak swasta, Sabtu (24/3/2012).


Perencanaan pemerintah untuk menaikan harga BBM di masukkan dalam jadwal Sidang Paripurna DPR yang memakan waktu sangat panjang, sejak pukul 10.00 WIB berlarut sampai dengan pukul 01.00 WIB ini menghasilkan penundaan kenaikan harga BBM dan melahirkan  UU APBN-P 2012. Peta politik terjadi pada ayat 6a pasal 7, menyatakan memperbolehkan pemerintah mengubah harga BBM jika harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata 15 persen dari harga patokan US$ 105 dalam waktu 6 bulan. Demokrat yang semula mengusulkan ayat 6a rata-rata kenaikan harga minyak (ICP) 5% dan pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga, namun kemudian beralih ke opsi yang memilih nilai rata-rata kenaikan sebesar 15%. Begitu juga dengan PAN, PKB, PPP, dan Golkar beralih ke opsi ini. PKS sempat abu-abu: awalnya menawarkan opsi 20% tetapi kemudian tidak jelas sikapnya, dan di akhir memilih untuk menolak ayat 6a: bergabung dengan PDIP dan Gerindra.


“Lahirnya pasal 7 ayat 6a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 ini, pemerintah seakan-akan tidak memikirkan dampak yang dapat makin menyengsarakan rakyat yang pada saat ini belum bisa di bilang sejahtera dan membuat masyarakat berada dalam ketidakpastian. Pasal tersebut juga memberi kewenangan tanpa persetujuan DPR,“ ungkap mahasiswa Fakultas Hukum Unswagati Rizki Felani. (ara)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SETARA NEWS - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger